Bukti Kejahatan Israel
Di kawasan Tepi Barat Sungai Jordan dan bagian timur kota Beitul Maqdis, Israel membangun pagar pemisah beton sepanjang kurang lebih 700 kilometer yang 80 persennya di bangun di dalam wilayah otonomi dengan merampas tanah milik warga Palestina. Tindakan rezim Zionis yang memasukkan wilayah Palestina dengan membangun pagar pemisah itu sekaligus menunjukkan kebohongan klaim bahwa pagar hanya dibangun untuk keamanan dan mencegah penyusupan para pelaku operasi mati syahid ke dalam wilayah Israel.
Dengan memasukkan banyak lagi wilayah tepi barat ke dalam kekuasaannya, Rezim Zionis praktis telah menambah jumlah pemukiman Zionis sebanyak 190 ribu jiwa. Israel juga tidak mengindahkan keputusan mahkamah internasional Den Hagg yang memberikan status ilegal untuk tembok pemisahnya. Imbaun internasional agar tembok itu dihancurkan juga tidak digubris.
Seburuk apakah dampak dari pembangunan tembok itu bagi warga Palestina? Bagi orang Palestina yang tinggal di kawasan antara garis hijau perbatasan dan tembok pemisah, ada undang-undang khusus, sebab kawasan ini telah ditetapkan sebagai daerah tertutup. Mereka tidak bisa leluasa pergi ke tempat kerja atau sekolah karena harus mengantongi izin keluar masuk ke wilayah tepi Barat, sementara pihak rezim Zionis tanpa alasan yang logis sering menolak untuk mengeluarkan izin bagi mereka. Hal ini membuat banyak warga di sana terpaksa meninggalkan kampung halaman mereka, sehingga lahirlah gelombang pengungsi Palestina yang baru. Di negara-negara lain, cara yang dilakukan kaum Zionis lazim disebut dengan istilah pemusnahan etnis.
Di wilayah Tepi Barat, Israel mendirikan 520 pos pemeriksaan yang berarti 40 persen lebih banyak dibanding tahun lalu. Dengan adanya pos pemeriksaan ini, kota-kota di tepi terpisah satu dari yang lain, sehingga menyulitkan penyuplaian barang-barang kebutuhan warga di sana. Rezim Zionis juga melakukan penyiksaan mental dengan melakukan penghinaan kepada mereka yang melalui pos-pos pemeriksaan. Di banyak kawasan, pos pemeriksaan didirikan di tempat yang tidak memiliki keamanan sama sekali. Tujuannya hanya untuk unjuk kekuatan dan menakut-nakuti warga Palestina. Di selatan kota Al Khalil, Rezim Zionis mendirikan dinding yang memisahkan perumahan warga dari ladang dan tanah perkebunan mereka. Di Beitul Maqdis Timur, tembok pemisah ini memasukkan banyak wilayah otonomi ke dalam kekuasaan Israel.
Selain masalah pagar pemisah dan pos keamanan, rezim Zionis juga meningkatkan aksi kekerasannya terhadap warga Palestina. Agresi militer, penembakan, pembantaian, pengeboman, penculikan, pengerusakan rumah, ladang perkebunan dan teror yang dilakukan para serdadu Zionis di Palestina sudah menjadi berita harian. Aksi pendudukan dan perampasan tanah lebih banyak lagi, juga terus dijalankan. Saat ini sekitar 10 ribu warga Palestina termasuk ratusan anak-anak dan perempuan mendekam di penjara-penjara Israel.
Krisis lain yang dapat melahirkan terjadinya tragedi kemanusiaan adalah tingkat kemiskinan warga Palestina di Tepi Barat yang mencapai 40 persen. Mereka memerlukan uluran tangan dan bantuan darurat untuk bisa menyambung hidup. Meski kondisi menyedihkan ini masih lebih baik dibanding Jalur Gaza, tetapi cukup mengkhawatirkan bagi para pemerhati internasional. Angka pengangguran juga melampaui 40 persen, sementara 23 persen mereka yang bekerja tidak mendapatkan upah.
Kondisi yang menyedihkan ini diperparah oleh embargo ekonomi yang dijatuhkan negara-negara Barat terhadap Palestina hanya karena Hamas berhasil memenangi pemilu legislatif dan membentuk pemerintahan. AS dan negara-negara donor otoritas Palestina menghentikan bantuan dana sebagai bentuk protes atas kemenangan Hamas yang dipandang radikal oleh Barat. Antara 50 sampai 60 juta Dolar pajak yang didapatkan pemerintah otonomi Palestina juga dibekukan oleh rezim Zionis. Akibatnya, proyek-proyek pembangunan terhenti dan para pegawai pemerintahan berbulan-bulan lamanya tidak mendapatkan gaji.
Bantuan yang diberikan oleh lembaga-lembaga internasional jauh dari mencukupi. Sejak tahun 1994, Palestina secara praktis bergantung pada bantuan dana negara-negara lain. Karena itu jika bantuan tesebut dihentikan, petaka lah yang bakal terjadi. Embargo yang diberlakukan negara-negara Barat atas Palestina saat ini dalah yang paling parah, sejak 12 tahun lalu.
Dalam melakukan kejahatan terhadap rakyat Palestina, rezim Zionis Israel tidak mengenal batas dan hukum internasional. Di saat yang sama, lembaga-lembaga internasional terutama Dewan Keamanan PBB yang semestinya membela rakyat Palestina dan mencegah berlanjutnya kejahatan Zionis, justeru bisu seribu bahasa. Dewan Keamanan dibuat tak berdaya oleh AS yang siap memveto setiap resolusi anti Israel. Jika pun DK berhasil meratifikasi resolusi, tidak pernah ada jaminan eksekusinya.
Masyarakat dunia sudah menyadari bahwa Israel adalah rezim ilegal yang dibentuk di atas penderitaan sebuah bangsa yang terusir dan terampas hak-haknya. Israel adalah rezim yang dibentuk dengan darah dan kezaliman. Teror dan pembantaian sudah menjadi bagian tak perpisahkan dari rezim ini. Sejarah 60 tahun berdirinya rezim ini di negeri Palestina penuh dengan darah dan pembantaian. Sebut saja pembantaian Sabra dan Shatila yang terjadi pda dekade 1980-an, atau tragedi Qana pertama dan kedua. Tragedi kemanusiaan di kamp pengungsian Jenin yang terjadi di tahun-tahuh awal intifada Masjidul Aqsha masih lekat di ingatan. Meski demikian, tidak pernah ada langkah yang konkret dari lembaga-lembaga dunia untuk memaksa Israel menghentikan kejahatannya di Palestina.
Komentar
Posting Komentar