Wartawan Zionis
Arys Hilman, 18-01-2009
Sejarah Israel modern tak pernah luput dari jejak wartawan. Sejak era Theodor Herzl hingga kini. Pada 1894, Herzl meliput persidangan Alfred Dreyfus, seorang Yahudi Prancis yang didakwa menjadi mata-mata Jerman. Herzl membenci Dreyfus namun kemudian membelanya mati-matian. Ia ‘menemukan’ Dreyfus tak bersalah dalam skandal itu dan hanyalah seorang korban anti-Semit yang sedang mewabahi Eropa.
Maka, saat orang-orang Eropa berteriak, ‘Death. Death to the Jews,’ Herzl justru melobi tokoh-tokoh penting Eropa demi pembebasannya. Bagi wartawan Yahudi Austro-Hungaria itu, Dreyfus adalah simbol ketidakadilan Eropa terhadap Yahudi.
Dreyfus mendapatkan maaf pada 1899. Namun, sejak dua tahun sebelumnya, Herzl telah melangkah lebih jauh lagi. Dia menggelar Kongres Yahudi pertama di Basel dengan tujuan mendirikan negara Yahudi.
Sebagai wartawan, Herzl terobsesi pada Cecil John Rhodes, tokoh imperialis Eropa. Pada 1895, Rhodes menduduki tanah milik bangsa Matabele dan Mashona di Afrika dan mendirikan di atasnya negara Rhodesia.
Tercatat dalam bukunya, Der Judenstaat (Negara Yahudi), Herzl belajar banyak dari Rhodes. Ia menggunakan taktik Rhodes dengan memanipulasi perdagangan untuk mendapatkan tanah bagi koloni Yahudi. Para tuan tanah didekati. Orang-orang miskin –yang jumlahnya paling banyak– dikeluarkan dengan rekayasa pengiriman tenaga kerja ke luar negeri.
Semula Herzl memikirkan Palestina dan Argentina sebagai bakal wilayah Yahudi. Namun, ia kemudian sempat pula mewacanakan pendudukan di Afrika Timur, Sinai, Siprus, dan Kenya. Akhirnya, ia memilih Palestina karena berada pada ”wilayah yang dijanjikan Tuhan”.
Menurut Ritchie Ovendale (The Origins of The Arab-Israel Wars, 1984), Herzl mengajukan proposal negeri Yahudi kepada sejumlah pemimpin negara. Ia mengiming-imingi mereka bantuan keuangan –karena Yahudi adalah penguasa perbankan. Inggris menolak. Mesir menolak. Arab Saudi menolak.
Sultan Hamid II dari Turki yang de facto saat itu menguasai wilayah Palestina pun menolak. Herzl menawarinya bantuan pengelolaan keuangan sebagai imbalan, namun Sultan mengatakan, ”Palestina bukan untuk agama tertentu semata.”
Herzl meninggal pada 1904, sebelum negara Yahudi terbentuk. Namun, sang wartawan tetap hadir di benak kaum Yahudi sebagai mitos bahkan ‘nabi Zionisme’. Dalam catatan hariannya, Herzl menulis telah mendirikan negara Yahudi pada Kongres Zionis pertama di Basel.
Israel detik ini tetap berisikan kisah wartawan. Tapi, bukan lagi cara Cecil John Rhodes yang menjadi inspirasi. Kisah Zionisme justru terjadi pada pertempuran di medan mereka sendiri, jurnalisme.
Mereka hadir di Gaza kini. Lewat Time pekan ini, misalnya, mereka menyebut kejahatan di tanah Palestina itu sebagai ”tindakan hukuman” bagi Hamas. Siapakah Hamas? Majalah itu menyebutnya sebagai ”kelompok militan Islam yang meluncurkan rudal ke tanah Israel”. Pada teras berita, penjelasan ini muncul dalam satu helaan napas dengan fakta bahwa seribu lebih nyawa orang Palestina menjadi korban serbuan Israel –seakan kematian mereka termaafkan karena Hamas pun telah meluncurkan rudal.
Neil Lowrie dari Arab Media Watch mengulas pertempuran kata-kata telah bersaing dengan pertarungan peluru. Betapa kata-kata, tulis Lowrie dalam ”Terminology in the Middle East Conflict” (With God on Our Side, 2005), telah dengan pandai digunakan untuk membutakan mata atas kebenaran dalam konflik yang terjadi.
Para wartawan secara pandai menggunakan kata-kata yang menyilaukan. Sulit, misalnya, untuk menangkap kejanggalan istilah wilayah sengketa (disputed territories) dalam pemberitaan tentang Palestina.
Semula, kawasan seperti Gaza dan Tepi Barat muncul dalam berita sebagai wilayah pendudukan. Ini adalah wilayah yang direbut Israel pada perang 5 Juni 1967. Dalam Resolusi PBB nomor 242 tahun 1967, istilah ”wilayah pendudukan” juga dipakai. Namun, sejak 1993, media mulai mengalihkan penamaan kawasan itu hanya sebagai kawasan sengketa.
Lowrie menyebut banyak contoh lain. Ada kata ”teroris” untuk orang Palestina yang angkat senjata; ”pembunuhan yang sudah ditargetkan” untuk para korban sipil rudal Israel, atau ‘’serangan balasan” untuk tindakan ofensif mereka.
Kekuatan Hamas adalah ”kelompok militan atau radikal”. Sementara, tentara Israel mereka sebut sebagai Israeli Defense Force alias ”institusi untuk bertahan”. Siapakah yang menyerang? Siapakah yang membela diri atau bertahan? Sudah tak jelas. Masuknya rudal dari AS ke Israel adalah ”bantuan militer”. Tapi, masuknya roket dari Iran dan Rusia ke Palestina adalah ”penyelundupan”.
Kelompok-kelompok yang memperjuangkan kemerdekaan Palestina kini mendapat gelar ”teroris”. Tapi, kelompok Yahudi seperti Irgun, Stern, atau Haganah yang sebelum Resolusi 181 tentang pemisahan Palestina untuk Arab dan Yahudi (1947) benar-benar berbuat teror, menjadi organisasi ”pertahanan”. Menachem Begin, tokoh Irgun, jadi perdana menteri. Ariel Sharon dari Haganah pun demikian. Pembunuhan polisi-polisi dan menteri Inggris di Palestina yang mereka lakukan pada 1944 disebut teror. Kini serbuan ke markas PBB di Gaza hanyalah ”kesalahan manusiawi yang akan diteliti”.
The Christian Science Monitor menyebut peristiwa di Gaza tiga pekan terakhir sebagai ”Perang Gaza”. Ah, jadi ingat tangisan Richard Gere yang berperan sebagai wartawan dalam Hunting Party (2007) tentang kejahatan perang di Bosnia: ”Ini bukan perang! Ini pembantaian!” jeritnya kepada anchor TV di New York. Jeritan yang membuatnya dipecat.
kalyara@yahoo.comsumber:
Komentar
Posting Komentar