Justifikasi Ulil untuk Israel

Justifikasi Ulil untuk Israel

zahal_israel_defense_forces_cloth_hat_patch

Ini pertanyaan sederhana dan mohon jangan diartikan sebagai pembenaran atas agresi Israel terhadap Gaza. Saya tetaplah anti agresi itu, dan simpati saya selalu berpihak pada bangsa Palestina.

Tetapi ada manfaatnya jika kita menempatkan sesuatu dalam perspektif historis yang lebih luas sehingga kita lebih “dewasa”. Pertanyaan-pertanyaan berikut ini mengganggu saya sejak lama. Saya tak berpretensi bisa menjawabnya dengan tuntas dan tepat.

Menurut saya protes umat Islam terhadap negara Israel bukan sekedar karena negara itu mencaplok wilayah Palestina. Menurut saya, naif sekali jika kita membaca konflik Palestina-Israel ini sekedar sebagai masalah nasionalisme, pencaplokan wilayah secara tak sah, dsb.

Kalau umat Islam keberatan suatu negara mencaplok wilayah negara lain, kenapa dulu waktu Irak melakukan agresi terhadap Kuwait, simpati umat Islam justru lebih banyak berpihak pada Saddam Husain? Jika umat Islam keberatan pada urusan pencaplokan wilayah, kenapa dulu umat Islam di Indonesia tidak keberatan negara Indonesia meng-invasi Timor Timur? Kenapa umat Islam tidak protes sedikitpun pada perlakuan Cina atas Tibet belakangan ini?

Tetapi pertanyaan mendasar yang jauh lebih penting buat saya adalah fakta berikut ini. Sejarah Islam sejak awal, kalau kita mau jujur, adalah sejarah ekspansi wilayah dengan cara pencaplokan. Islam lahir di Hijaz lalu melakukan ekspansi dan pencaplokan wilayah keluar sehingga mencakup wilayah yang sangat luas sekali. Dalam sejarah dunia tidak ada agama yang berkembang dengan cara seperti ini kecuali Islam dan Kristen.

Ekspansi dan pencaplokan wilayah memang banyak terjadi dalam sejarah masa lalu. Tetapi ekspansi dan penaklukan wilayah yang dilakukan atas nama agama dan berlangsung secara kontinyu dalam waktu yang sangat lama hanya terjadi pada kasus Islam dan Kristen, dua agama yang sejak awal memiliki watak imperial, misionaris, dan ekspansif.

Kalau kita sebagai umat Islam mau jujur, kita harus mengakui bahwa seluruh wilayah yang sekarang dihuni oleh umat Islam, terutama di kawasan Arab, sekitar Laut Tengah, daerah Balkan, dan anak benua India-Pakistan adalah wilayah taklukan Islam. Dengan kata lain, wilayah yang dulu diperoleh karena proses pencaplokan melalui aksi militer. Memang ada dakwah damai melalui para ulama, kaum sufi, pedagang dan sebagainya. Tetapi misi dakwah berlangsung tidak secara independen. Ada aksi militer yang mendahului atau mengikutinya.

Sementara itu, agama Yahudi adalah agama yang kontras sama sekali dengan Islam, meskipun dari aspek orientasi ketaatan pada hukum ada kesamaan antara keduanya. Jika Islam adalah agama misionaris, imperial dan ekspansif, agama Yahudi kebalikan dari itu semua. Agama Yahudi tidak pernah berambisi untuk mendakwahkan agama itu di luar bangsa Yahudi sendiri dan ingin “menyelamatkan domba-domba sesat” seperti dalam Kristen.

Bangsa dan agama Yahudi juga tidak pernah berambisi melakukan ekspansi wilayah. Ide keyahudian terikat pada wilayah kecil sebagai fondasi agama itu, yaitu Yerusalem dan kawasan di sekitarnya yang sama sekali tidak siginifikan dibandingkan dengan luasnya wilayah yang pernah dicaplok oleh umat Islam di zaman lampau.

Ini yang menjelaskan kenapa bangsa dan umat Yahudi hanya berjumlah tak lebih dari 15 juta hingga saat ini. Bandingkan dengan jumlah umat Islam yang mencapai sekitar 1,2 milyar di seluruh bumi. (Catatan: ini belum ditambah bangsa jin yang konon menurut umat Islam juga ada yang beragama Islam pula). Watak Islam sebagai agama yang misionaris, imperial dan ekspansif tercermin dalam luasnya wilayah yang dihuni umat Islam saat ini, serta keragaman etnik dan bangsa yang memeluk agama itu. Ini juga terjadi pada agama Kristen.

Buku-buku sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah Islam sudah tentu tidak mau mengakui fakta seperti ini. Sejarah ekspansi dan penaklukan Islam disebut sebagai “futuhat” atau pembukaan. Ini jelas semacam eufemisme. Seolah-olah wilayah yang dihuni oleh bangsa-bangsa non-Islam sebelum Islam datang itu adalah wilayah gelap. Ekspansi Islam dibaca sebagai pembukaan wilayah itu terhadap “sinar” kebenaran Islam. Cara membaca sejarah semacam ini persis dengan justifikasi imperialisme Eropa barat di masa lampau sebagai proses “sivilisasi”. Tak ada bedanya sama sekali.

Ini juga tak beda dengan justifikasi agresi Amerika ke Irak saat ini sebagai cara untuk menyebarkan demokrasi di Timur Tengah. Kita tahu, semua agresor di manapun selalu memakai “senjata simbolik” untuk membenarkan agresi mereka, entah melalui agama, filsafat, tradisi, atau memori tertentu.

Yang mengganggu saya adalah umat Islam saat ini protes dengan begitu gigihnya terhadap pencaplokan Israel atas tanah Palestina, tetapi tidak pernah sedikitpun terganggu dengan masa lampau mereka yang penuh dengan agresi dan aksi pencaplokan pula. Apa yang diambil Israel saat ini dari tanah Palestina tak ada apa-apanya dibanding dengan luasnya wilayah yang ditklukkan oleh umat Islam di masa lampau.

Sama dengan Presiden Bush yang beberapa waktu lalu protes terhadap kebijakan pemerintah Cina di Tibet, tanpa sadar bahwa apa yang dilakukan oleh Cina di Tibet juga diakukan oleh Amerika di Irak saat ini. Apakah Presiden Bush tidak malu dengan “double-speak” seperti itu?

Pertanyaan ini sengaja saya angkat supaya kita bisa menempatkan konflik Palestina-Israel saat ini dengan lebih seimbang. Saya hingga sekarang masih percaya bahwa masalah Israel di mata umat Islam bukan sekedar masalah geografi dan perluasan wilayah. Masalah sebenarnya ada di luar itu, yakni konstruksi keyahudian di benak umat Islam sendiri yang dibentuk melalui ajaran agama dan tafsirnya yang sudah berkembang sejak berabad-abad. Menurut saya, “sedimentasi simbolik” semacam itu (kalau boleh memakai istilah yang mungkin agak kurang jelas artinya ini) ikut memperumit penyelesaian masalah Israel hingga sekarang. Hal serupa juga terjadi pada pihak bangsa Yahudi sendiri.

Anda bisa membayangkan bagaimana psikologi sebuah bangsa yang jumlahnya tak lebih dari 15 juta orang berhadapan dengan sebuah umat yang jumlahnya tak kurang dari 1,2 milyar, sementara umat yang “gigantik” itu dibentuk oleh sebuah ajaran yang kalau tidak benci minimal kurang bersahabat dengan bangsa dan agama Yahudi.

Tulisan ini sengaja saya kemukakan sebagai otokritik pada umat Islam. Dengan mengatakan ini semua, saya tak menolak bahwa komplikasi masalah Palestina-Israel ini juga ada dan disebabkan oleh pihak-pihak lain, antara lain dukungan Amerika yang nyaris tidak kritis pada Israel. Di mata pemerintah Amerika, Israel seperti
”can do no wrong”. Para Zionis, termasuk Kristen-Zionis, di Amerika juga ikut terlibat dalam memperumit masalah Palestina ini. Ketidakberdayaan PBB dalam mengatasi sikap pemerintah Israel yang selama ini selalu melanggar sejumlah resolusi lembaga itu berkenaan dengan masalah Palestina, juga masalah tersendiri.

Masalah-masalah “eksternal” itu sudah sering dikemukakan oleh para analis, termasuk juga oleh umat Islam sendiri. Tetapi yang mempersoalkan “masalah internal” dalam umat Islam sendiri nyaris jarang sekali. Memang paling enak jika kita melempar masalah keluar ketimbang mengorek kelemahan dalam diri kita sendiri.



salah satu jawaban

Otokritik dan cara berpikir Ulil tentu bisa dilihat dan dinilai dari banyak perspektif. Dan Ulil, sebagaimana umumnya orang yang telah mewarisi suatu cara berpikir dan cara pandang, tentu dalam melihat, menilai dan mensikapi suatu realitas tidak terlepas dari jerat sosiolitas dan historisitasnya sendiri. Sebagai misal, Nabi Muhammad saw adalah tokoh sejarah, dan peran kesejarahan beliau itu bisa dilihat dalam berbagai perspektif. Dan kini diantara semua perspektif itu mana yang paling mendekati kebenaran? Kalau anda tidak punya ‘batu uji’ kebenaran pastilah anda akan terombang-ambing dalam lautan pekat relatifitas kebenaran menurut sejarah dan kebudayaan ummat manusia sepanjang masa.
Wahai Ulil, saya melihat anda sepertinya terbawa arus relatifitas itu. Bukankah anda tahu bahwa sejarah Islam (dalam kaitan denga para tokoh dan pelakunya) tidak semuanya dapat kita benarkan menurut perspektif al-Qur’an. Tentu saja jangan tanya saya dimana salahnya karena al-Qur’an mampu berbicara kepada anda atau kepada siapa saja yang mampu menggunakan akalnya secara jernih menurut kadar fitrahnya masing-masing orang. Tapi anda juga tahu memang bahwa ayat-ayat al-Qur’an itu bisa dimanipulir menurut kepentingan nafsu-nafsu jahat manusia, dan akal sehat anda pasti mampu memindai itu. Karena itu, ketika anda mengatakan bahwa sejarah Islam adalah sejarah yang tampak ekspansionis dan berdarah-darah, maka dalam perspektif al-Qur’an anda mestinya juga mampu mengetahui mengapa itu terjadi.
Ketika saya sedikit merenung jalan pikiran anda itu, ada rasa cemas dalam diri saya kalau cara berfikir itu menjadi dominan merasuki ummat manusia di abad ini. Karena apa? Karena dalam tulisan anda itu tersirat sebuah pesan bahwa: agressi, penindasan, pencaplokan dan penjajahan itu adalah watak sejarah peradaban ummat manusia sepanjang masa. Begitulah sejarah peradaban Islam dan Kristen…. lalu apa salahnya Israel ketika berlaku seperti itu… tidak.. itu tidak salah… kita harus adil dalam menilai… yang benar adalah pihak yang mampu berkuasa atas pihak lain karena memang lebih tangguh dan tak terkalahkan… Yahudi, Kristen dan Islam sama saja dalam lintasan sejarah……………………
Demikianlah, maka akhirnya kalam Allah bukan lagi menjadi petunjuk dan batu uji untuk semua perspektif manusia abad ini……. a’udzubillahi mindzalik.

http://musakazhim.wordpress.com/2009/01/20/justifikasi-ulil-untuk-israel/

sumber:
http://musakazhim.wordpress.com/2009/01/20/justifikasi-ulil-untuk-israel/

Komentar

Postingan Populer