Road Map Perdamaian Israel-Palestina

Oleh R u m a d i*
KUTUKAN kepada Israel terus mengalir dari berbagai penjuru dunia. Demontrasi digelar dimana-mana. Sejumlah kepala negara juga mengutuk agresi militer Israel yang membabi buta. Berbagai upaya menekan Israel agar agresi militernya dihentikan sudah dilakukan. Resolusi PBB No. 1860 untuk menghentikan agresi Israel ke Palestina juga sudah dikeluarkan, meski AS sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB menyatakan abstain. Namun, upaya tersebut belum cukup ampuh untuk memaksa Israel menghentikan serangannya ke jalur Gaza. Hingga kini, sembilan ratus lebih nyawa warga Gaza melayang dan hampir lima ribu luka-luka. Namun, hal ini lagi-lagi belum dianggap cukup oleh Israel. Bahkan, sejak serangan di hari ke 15, Dewan HAM PBB menduga Israel menggunakan senjata kimia sejenis fosfor putih. Jika hal ini benar-benar terjadi, Gaza telah menjadi ladang pembantaian (killing field) yang sangat mengerikan. Peristiwa hollocoust di Auswitz dimana ratusan ribu orang Yahudi dibantai Hitler, akan terulang di Gaza dalam bentuk yang lain. Israel tampaknya tidak bisa belajar dari sejarah.

Kisah Negara Israel
Konflik Palestina - Israel menurut sejarah sudah 31 tahun ketika pada tahun 1967 Israel menyerang Mesir, Yordania dan Syria dan berhasil merebut Sinai dan Jalur Gaza (Mesir), dataran tinggi Golan (Syria), Tepi Barat dan Yerussalem (Yordania). Sampai sekarang perdamaian sepertinya jauh dari harapan. Ditambah lagi terjadi ketidaksepakatan tentang masa depan Palestina dan hubungannya dengan Israel di antara faksi-faksi di Palestina sendiri.

Sejarah Israel sebenarnya bisa ditelusuri sejak ribuan tahun Sebelum Masehi. Namun dalam tulisan yang pendek ini tidak mungkin menguraikan keseluruhannya. Momentum penting pendirian negara Israel adalah pada 1897 ketika Theodore Herzl (1860-1904), seorang Yahudi kelahiran Budhapest menggelar Kongres Zionis sedunia di Basel Swiss. Peserta Kongres I Zionis mengeluarkan resolusi, bahwa umat Yahudi tidaklah sekedar umat beragama, namun adalah bangsa dengan tekad bulat untuk hidup secara berbangsa dan bernegara. Dalam resolusi itu, kaum zionis menuntut tanah air bagi umat Yahudi. Di kongres itu, Herzl menyebut, Zionisme adalah jawaban bagi "diskriminasi dan penindasan" atas umat Yahudi yang telah berlangsung ratusan tahun. Pergerakan ini mengenang kembali bahwa nasib umat Yahudi hanya bisa diselesaikan di tangan umat Yahudi sendiri. Di depan kongres, Herzl berkata, "Dalam 50 tahun akan ada negara Yahudi !" Apa yang direncanakan Herzl menjadi kenyataan pada tahun 1948.

Peristiwa "Dreyfus",[1] sebagai puncak antisemitisme negara-negara Eropa, terutama Jerman, mengantarkan Herzl pada kesimpulan: 1) Orang-orang Yahudi, dimanapun mereka berada di permukaan bumi ini, akan tetap saja merupakan sebuah "bangsa" yang tunggal; 2) Mereka selamanya dan di mana saja pun selalu menjadi korban pengejaran; 3) Mereka sama sekali tidak dapat diasimilasikan oleh negara-negara dimana mereka telah bertempat tinggal.

Akibat ditariknya kesimpulan tersebut, maka pemecahan masalahnya menurut Herzl dan menurut orang-orang antisemit juga adalah membuat negara Yahudi baru diatas tanah kosong dunia. Maka dipilihlah Palestina agar juga mendapat dukungan orang-orang Yahudi aliran Zion (Pecinta tanah sejarah yaitu Mesir, Kan'an dan sekitarnya).

Karena ketegangan terus menerus di Palestina dimana Yahudi mulai mendominasi, pada 1947 PBB merekomendasikan pemecahan Palestina menjadi dua negara: Arab dan Israel. Maka, tahun 14 Mei 1948, Sehari sebelum habisnya perwalian Inggris di Palestina, para pemukim Yahudi memproklamirkan kemerdekaan negara Israel. Mereka melakukan agresi bersenjata terhadap rakyat Palestina yang masih lemah, hingga jutaan dari mereka terpaksa mengungsi ke Libanon, Yordania, Syiria, Mesir dan lain-lain. Pengungsi Palestina menjadi tema dunia. Namun mereka menolak eksistensi Palestina dan menganggap mereka telah memajukan areal yang semula kosong dan terbelakang. Timbullah perang antara Israel dan negara-negara Arab tetangganya. Namun karena para pemimpin Arab sebenarnya ada di bawah pengaruh Inggris, maka Israel mudah merebut daerah Arab Palestina yang telah ditetapkan PBB.

Pada 1956, Israel dibantu Inggris dan Perancis menyerang Sinai untuk menguasai terusan Suez. 1964 Para pemimpin Arab membentuk PLO (Palestine Liberation Organization). 1967 Israel menyerang Mesir, Yordania dan Syria selama 6 hari dengan dalih pencegahan. Israel berhasil merebut Sinai dan Jalur Gaza (Mesir), dataran tinggi Golan (Syria), Tepi Barat dan Yerussalem (Yordania). Israel dengan mudah menghancurkan angkatan udara musuhnya karena dibantu informasi dari CIA. Pada 1967, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi Nomor 242, yang memerintahkan penarikan mundur Israel dari wilayah yang direbutnya dalam perang 6 hari, pengakuan semua negara di kawasan itu, dan penyelesaian secara adil masalah pengungsi Palestina.

Pada 1969 Yasser Arafat dari faksi Al-Fatah terpilih sebagai Ketua Komite Eksekutif PLO dengan markas di Yordania. Namun karena peristiwa pembajakan pesawat pada 1970 sebagai publikasi perjuangan rakyat Palestina membuat PLO dikecam dunia, dan Yordania pun dikucilkan. Karena ekonomi Yordania sangat tergantung dari AS, maka akhirnya Raja Husein mengusir markas PLO dari Yordania. Dan akhirnya PLO pindah ke Libanon.

Perang kembali pecah pada 1973. Mesir dan Syria menyerang pasukan Israel di Sinai dan dataran tinggi Golan pada hari puasanya Yahudi Yom Kippur. Pertempuran ini dikenal dengan Perang Oktober. Mesir dan Syria hampir menang, namun Israel kemudian dibantu AS. Presiden Mesir Anwar Sadat terpaksa berkompromi, karena dia cuma siap untuk melawan Israel, tidak siap berhadapan dengan AS. Arab membalas kekalahan itu dengan menutup keran minyak. Akibatnya harga minyak melonjak pesat. Dewan keamanan PBB kembali mengeluarkan resolusi Nomor 338, untuk gencatan senjata, pelaksanaan resolusi Nomor 242 dan perundingan damai di Timur Tengah.

Untuk merintis perdamaian dengan Israel, pada 1977 Presiden Mesir Hosni Mubarok menawarkan perdamaian jika Israel mengembalikan seluruh Sinai. Negara-negara Arab merasa dikhianati. Mesir dan Israel menandatangani perjanjian Camp David yang diprakarsai AS. Perjanjian itu menjanjikan otonomi terbatas kepada rakyat Palestina di wilayah-wilayah pendudukan Israel. Sadat dan PM Israel Menachem Begin dianugerahi Nobel Perdamaian 1979. Namun Israel tetap menolak perundingan dengan PLO dan PLO menolak otonomi. Belakangan, otonomi versi Camp David ini tidak pernah diwujudkan. Dan AS sebagai pemrakarsanya juga tidak merasa wajib memberi sanksi, bahkan selalu memveto resolusi PBB yang tidak menguntungkan pihak Israel. Karena langkah politiknya ini, belakangan Anwar Sadat dibunuh kelompok yang anti Yahudi-Israel pada tahun 1982.

Pada 1982 kembali perang pecah antara Israel dan Libanon. Ratusan pengungsi Palestina di Sabra dan Shatila terbunuh. Namun peristiwa ini tidak berhasil diangkat ke forum internasional karena veto AS. Belakangan Israel juga dengan enaknya melakukan serangkaian pemboman atas instalasi militer dan sipil di Iraq, Libya dan Tunis.

Pada 1988 diumumkan berdirinya negara Palestina di Aljiria, ibu kota Aljazair. Ditetapkan bahwa Yerussalem Timur sebagai ibukota negara dengan Presiden pertamanya adalah Yasser Arafat. Setelah. Sejak itu, AS membenarkan pembukaan dialog dengan PLO setelah Arafat secara tidak langsung mengakui eksistensi Israel dengan menuntut realisasi resolusi PBB Nomor 242 pada waktu memproklamirkan Republik Palestina.

Awal tahun 1990-an PLO - Israel saling mengakui eksistensi masing-masing dan Israel berjanji memberikan hak otonomi kepada PLO di daerah pendudukan. Pengakuan itu dikecam keras oleh pihak ultra-kanan Israel maupun kelompok di Palestina yang tidak setuju. Namun negara-negara Arab (Saudi Arabia, Mesir, Emirat dan Yordania) menyambut baik perjanjian itu. Mufti Mesir dan Saudi mengeluarkan "fatwa" untuk mendukung perdamaian.

Setelah kekuasaan di daerah pendudukan dialihkan ke PLO, maka sesuai perjanjian dengan Israel, PLO harus mengatasi segala aksi-aksi anti-Israel. Dengan ini maka sebenarnya PLO dijadikan perpanjangan tangan Yahudi. Yasser Arafat, Yitzak Rabin dan Shimon Peres mendapat Nobel Perdamaian atas usahanya tersebut. Namun, Rabin akhirnya dibunuh seorang Yahudi Fanatik bernama Yigar Amir.

Masa depan perdamaian Arab-Israel suram pada 1996 ketika Pemilu di Israel dimenangkan secara tipis oleh Netanyahu dari partai kanan, yang berarti kemenangan Yahudi yang anti perdamaian. Netanyahu mengulur-ulur waktu pelaksanaan perjanjian perdamaian. Ia menolak adanya negara Palestina, agar Palestina tetap sekedar daerah otonom di dalam Israel. AS sebenarnya tidak terlalu senang bahwa Israel jalan sendiri di luar garis yang ditetapkannya. Namun karena lobby Yahudi di AS terlalu kuat, maka Presiden AS ketika itu, Bill Clinton harus memakai agen-agennya di negara-negara Arab untuk mengingatkan Israel. Maka sikap negara-negara Arab tiba-tiba kembali memusuhi Israel. Mufti Mesir juga memfatwakan jihad terhadap Israel. Sementara itu Uni Eropa (terutama Inggris dan Perancis) juga mencoba "aktif" menjadi penengah, yang sebenarnya juga hanya untuk kepentingan masing-masing dalam rangka menanamkan pengaruhnya di wilayah itu. Mereka juga tidak rela kalau AS "jalan sendiri" tanpa bicara dengan Eropa.

Peta jalan damai Israel-Palestina kembali dibangun pada 2002 yang difasilitasi Uni Eropa, Rusia, PBB dan Amerika Serikat. Israel juga telah menerima peta itu namun dengan 14 "reservasi". Israel berencana melakukan pemisahan diri yang kontroversial yang diajukan oleh Perdana Menteri Ariel Sharon. Menurut rencana yang diajukan kepada AS, Israel menyatakan bahwa ia akan menyingkirkan seluruh "kehadiran sipil dan militer yang permanen" di Jalur Gaza.

Di hari kemenangan Partai Kadima pada pemilu 2006 di Israel, Ehud Olmert - yang kemudian diangkat sebagai Perdana Menteri Israel menggantikan Ariel Sharon- berpidato. Dalam pidato kemenangan partainya, Olmert berjanji untuk menjadikan Israel negara yang adil, kuat, damai, dan makmur, menghargai hak-hak kaum minoritas, mementingkan pendidikan, kebudayaan dan ilmu pengetahuan serta terutama sekali berjuang untuk mencapai perdamaian yang kekal dan pasti dengan bangsa Palestina. Olmert menyatakan bahwa sebagaimana Israel bersedia berkompromi untuk perdamaian, ia mengharapkan bangsa Palestina pun harus fleksibel dengan posisi mereka. Ia menyatakan bahwa bila Otoritas Palestina, menolak mengakui Negara Israel, maka Israel akan menentukan nasibnya di tangannya sendiri. Pernyataan ini menyiratkan kesiapan Israel untuk kembali bertempur melawan Palestina jika situasi memaksa.

Adakah Jalan Keluar?
Janji Olmert untuk "menentukan nasib sendiri" itu kini terbukti. Serangan Israel ke Jalur Gaza (27/12/08) menjadi bukt. Sementara itu sebelum terjadinya serangan habis-habisan Israel ke Gaza, sudah terjadi serangan-serangan kecil di antara kedua belah pihak di sekitar Jalur Gaza, disebabkan Israel menutup tempat-tempat penyeberangan atau jalur komersial ke Gaza sehingga pasokan bahan bakar minyak terhenti, yang memaksa satu-satunya pusat pembangkit listrik di Jalur Gaza tutup. Hamas, faksi kuat yang menguasai Gaza, juga sering "mengirimkan" roket ke wilayah Israel.

Meski dunia internasional mengutuk aksi ini dan DK PBB sudah mengeluarkan resolusi, namun Israel belum juga menghentikan aksinya. Anehnya, otoritas Palestina di bawah kepemimpinan Mahmoud Abbas hanya berpangku tangan dan cenderung menyalahkan Hamas. Otoritas Palestina tidak bisa bekerja dengan efektif karena dikuasai kelompok Fatah yang secara ideologis berbeda dengan Fatah dalam menentukan visi soal Palestina. Akibatnya, mereka tidak bisa mengontrol perkembangan yang ada di Gaza yang dikuasai kelompok Hamas. Bahkan, bagi Hamas, otoritas Palestina dipandang lebih pro Israel.

Pemberdayaan otoritas Palestina ini penting sekali. Bahkan Presiden Mesir Husni Mubarak menegaskan tidak akan membuka perbatasan Rafah hingga otoritas Palestina pimpinan Presiden Mahmoud Abbas mampu mengontrol Gaza. Sesuai kesepakatan dengan Israel saat mundur pada Agustus 2005, Abbas harus mengizinkan pemantau Uni Eropa dan kamera pengintai sehingga Israel pun bisa mengawasi lalu lintas orang, barang, dan jasa yang keluar-masuk Gaza.

Kedua, dunia internasional terutama PBB dan Amerika tidak boleh bersikap lembek. Amerika tidak boleh menerapkan cara pandang ganda dalam melihat konflik ini. Berharap pada George W Bush tentu sulit, tapi Barrack Obama yang dilantik 20 Januari 2009 mendatang kita harapkan mempunyai nurani. Mereka harus mampu memaksa Israel dan Hamas untuk mengedepankan perdamaian. Tanpa itu, sata tidak bisa melihat masa depan perdamaian di Paletina dan Israel.[]

*Penulis adalah Peneliti the Wahid Institute & Dosen Fak. Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.



[1] Peristiwa Dreyfus adalah skandal politik Perancis terburuk. Kapten Alfred Dreyfus (1859-1935), kapten Yahudi Perancis dihukum karena dituduh berkhianat memberi rahasia militer Perancis kepada Jerman dan lalu dibuang ke Pulau Setan (1894). Pada 1897, saudara lelakinya meneliti dan menemukan bahwa tulisan yang mirip tulisan Dreyfus ialah tulisan Mayor Ferdinand Walsin Esterhazy. Bukti yang lebih jauh dituduhkan padanya sebagai membuka rahasia militer lebih jauh dan memalsukan bukti (Januari 1898). Hukuman buat Dreyfus menimbulkan antisemitisme, walau bukti terhadap tuduhannya dipalsukan, angkatan perang enggan mengakuinya. Setelah timbul minat umum terhadap perkara itu, diketahui Gereja Katolik Roma menyokong penghukuman itu. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_Dreyfus.



Sumber:
http://www.wahidinstitute.org/Opini/Detail/?id=160/hl=id/Road_Map_Perdamaian_Israel-Palestina

Komentar

Postingan Populer